AGGRESSION
Seberapa sering anda
melihat seseorang melakukan tindak kekerasan kepada orang lain? Apakah
yang anda lihat adalah bentuk pemukulan atau penganiayaan? Apakah tindak
kekerasan tersebut terjadi di lingkungan anda? Ataukah di dalam keluarga anda
sendiri?
Bicara soal
kekerasan, pasti tidak akan terlepas dengan istilah "agresi".
Suatu istilah ilmiah yang sering digunakan oleh para ilmuwan ketika hendak
menggunakan kata "kekerasan" dalam suatu penelitian. Namun, tahukah
anda tentang pengertian sesungguhnya dari agresi? Agresi adalah bentuk perilaku yang
melibatkan pengiriman stimulus berbahaya (seperti: marah, menyerang, menghina,
melukai, mencelakakan, mengintimidasi, melanggar hak orang lain, dan memaksa)
kepada orang lain.
Jika dilihat dari
pengertian diatas, kita dapat mengetahui bahwa bentuk-bentuk agresi tidak hanya
ditunjukkan dalam bentuk fisik [seperti: memukul, menendang, melempar, dll],
tetapi bisa juga dalam bentuk:
- Agresi instrumental: bentuk agresi
yang mencoba memaksa / mempertahankan kekuatan, kekuasaan, dan status
sosial orang lain.
- Agresi emosional: bentuk agresi
yang terjadi ketika ketidaknyamanan seseorang timbul dan mencoba untuk
menyakiti orang lain.
- Agresi verbal: menghina, mengejek,
dan lain-lain.
- Agresi langsung: setelah dipukul,
langsung membalas dengan pukulan.
- Agresi tidak langsung:
menyebarkan cerita tidak menyenangkan tentang seseorang yang pernah
menghancurkan reputasinya kepada orang lain.
- Agresi yang secara sadar
dikontrol. Agresor mengetahui tujuan yang ingin mereka capai dan mereka
yakin bahwa mereka mempunyai kesempatan baik mereka untuk menyerang,
sehingga serangan ditunjukkan dengan santai dan bebas.
- Agresi yang impulsif /
berulang-ulang. Agresor didorong untuk memukul target, tanpa
mempertimbangkan pilihan tindakan yang lain, dan kemungkinan menyebabkan
konsekuensi negatif, sehingga serangan dilakukan kurang sadar atau secara
emosional.
Menurut Berkowitz, tujuan agresi ada dua, yaitu:
- Tujuan agresi yang tidak melukai. Pada tujuan ini, agresor akan bertindak secara rasional, menggunakan suatu tujuan dalam pemikirannya, dan ada keinginan untuk mempengaruhi atau menekan kekuatan orang lain dengan beberapa cara, yaitu: (a) Pemaksaan [Agresor menyakiti korban dengan mempengaruhi perilaku korban, seperti: mencoba membuat korban berhenti melakukan sesuatu yang mengganggu agresor], (b) Kekuatan dan kekuasaan [Agresor dapat menyakiti korban dengan menunjukkan posisi dominan agresor ketika berhubungan dengan korban, membanding-bandingkan kekuatan antara agresor dengan korban, dan melakukan perebutan kekuasaan], (c) Manajemen kesan [Agresor melihat apa yang orang lain pikirkan tentang mereka dan agresor akan membuat identitas negatif dengan menunjukkan kekuatan, kompetensi, dan keberanian mereka].
- Berbagai macam tujuan. Perilaku agresi dapat didorong oleh berbagai motif, seperti: memperoleh keuntungan moneter atau persetujuan sosial, dll.
Cukup sering dalam
pengalaman hidup kita, kita melihat tindak kekerasan / agresi dari orang
dewasa bahkan dalam lingkungan terdekat kita, yakni: kehidupan keluarga
seperti orangtua kepada anak-anak. Menurut catatan dari KomNas
Perempuan pada tahun 2010 bahwa kekerasan terhadap anak telah mencapai 600
kasus dan tidak menutup kemungkinan pada tahun ini jumlah tersebut semakin
bertambah. Menurut Social Services Alberta Family bahwa dampak aggresi yang dialami
oleh anak, yaitu:
- Indikator dari kekerasan fisik.
Tanda fisik pada anak dapat meliputi: memar, bilur, bekas gigitan, luka
bakar, luka lecet, terlepas sambungan pada bahu, paha atau bagian tubuh
lain, luka pada kepala atau nyeri pada bagian yang menjadi sasaran
tindakan kekerasan. Secara emosional, anak akan menjadi waspada dengan
orang dewasa dalam hal kontak fisik, terlihat takut pada orang tua atau
orang lain, takut ketika melihat wajah orang dewasa mencela, prihatin
ketika orang lain menangis, bertindak dengan kebiasaan yang terlalu agresif
atau menarik diri, memiliki keinginan yang berlebih-lebihan ketika meminta
sesuatu, dan mendekati semua orang dewasa
- Indikator dari kekerasan
emosional. Penampilan anak mungkin tidak dapat mengindikasikan adanya
kesulitan. Penampilan anak mungkin bersih, terawat dan terpelihara. Namun
disisi lain, ekspresi wajah anak dan sikapnya dapat mengindikasikan
ketakutan yang sangat mendalam pada orang lain, kesedihan, sulit membuat
komitmen, kesulitan untuk mempercayai orang lain, dan depresi. Tanda yang
dapat dilihat pada anak adalah menunjukkan sikap selalu mengalah atau
tunduk, pasif atau malu-malu, memiliki hubungan yang kurang baik dengan
teman sebaya atau menyendiri, takut memasuki komunitas atau hubungan baru,
menunjukkan episode perilaku sangat agresif atau sangat pasif, menuntut,
marah, takut gagal, khawatir, memiliki masalah dalam konsentrasi atau
belajar, mudah menyerah, menjadi salah seorang yang sombong atau bersikap
negatif, memiliki rasa bersalah yang besar, menyimpan dendam, merasa
bingung akan identitasnya, serangan panik, keluhan tidur, gambaran diri
yang rendah, pikiran untuk bunuh diri, dan kesulitan untuk mempercayai
atau mencintai orang lain.
- Indikator dari kekerasan seksual.
Bukti fisik dari kekerasan seksual memang sangat jarang. Terkadang pada
anak-anak yang muda, kekerasan bukanlah pada hubungan seksual, tetapi
menyentuh yang mungkin tidak akan meninggalkan tanda fisik. Ketika bukti
fisik hadir, hal itu mungkin terdiri dari: menangis, ternoda atau memiliki
baju penuh darah, rasa sakit atau gatal pada daerah alat kelamin atau
sulit untuk ke kamar mandi, memar, berdarah atau bengkak pada daerah alat
kelamin atau dubur atau bau pada vagina. Anak yang mengalami kekerasan
seksual biasanya akan menunjukkan ketidak-tertarikan pada hal-hal mengenai
seksualitas, menggunakan bahasa dan membuat gambar yang secara seksual
terlihat jelas, memiliki fantasi yang berlebihan, menunjukkan rasa takut
terhadap hubungan yang dekat, menolak telanjang atau mengganti pembalut,
melakukan masturbasi secara berlebihan, dan menunjukkan perilaku merayu.
Pada aspek seksual, dampak yang diakibatkan oleh adanya tindakan kekerasan
terhadap anak biasanya tidak muncul pada masa anak-anak, namun akan muncul
ketika anak mulai beranjak dewasa. Aspek seksual ini berkaitan erat dengan
aspek psikologis karena adanya trauma yang mendalam pada diri anak.
- Indikator dari pengabaian. Anak yang mengalami pengabaian biasanya akan memiliki berat badan yang kurang dan memperoleh berat ketika diberi cukup nutrisi, menunjukkan kemajuan dari keterlambatan perkembangan mengikuti stimulasi yang tepat, menunjukkan tanda kehilangan, seperti: diare, muntah, anemia atau mengalami masalah pernapasan, secara konsisten menjadi kotor atau berpakaian tidak sesuai dengan cuaca, sering lapar, haus, lelah atau lesu, menuntut lebih kontak fisik dan atensi, serta tidak mendapat layanan medis.
Sekarang kita akan melihat bagaimana teori akan menjelaskan tentang agresi:
1. Teori Frustrasi-Agresi (Frustation-Aggression
Theory). Teori Frustrasi-Agresi adalah salah satu dari
teori-teori terawal mengenai agresi. Teori ini menyatakan bahwa frustrasi
selalu menyebabkan agresi dan agresi selalu disebabkan oleh frustrasi. Peneliti
telah mengklarifikasi bahwa teori ini terlalu terbatas, meskipun frustrasi
merupakan penyebab utama agresi, tetapi tidak selalu menimbulkan agresi dan
frustrasi bukanlah hal penting dalam mengungkap agresi.
2. Agresi berdasarkan emosi (Emotional Bases).
Menurut Berkowitz, bahwa individu akan mengaktivasi pikiran agresi dan
reaksi emosional yang mendorong ke arah perilaku agresi. Perilaku agresi ini
memiliki komponen motorik (seperti: menjepit rahang, mengepal tangan dengan
kuat, membentur, dan lain-lain), dorongan untuk menyakiti, melukai, dan
menghancurkan. Ada dua tahap penting dalam teori ini, yaitu:
1) Tahap emosional yang mendasari agresi
emosional adalah semua perasaan negatif (seperti: ketidaknyamanan yang
dihasilkan oleh situasi panas, dingin, ribut, kepadatan, frustrasi, gangguan
yang mendorong meningkatnya kekuatan perilaku agresi).
2) Tahap emosional yang terdiri dari:
jaringan perasaan, ide, memori, dan reaksi gerakan ekspresif yang dihubungkan
dengan orang lain, sehingga aktivasi satu bagian dari suatu jaringan akan
mengaktivasi bagian yang lain. Ingatan yang tidak menyenangkan akan menunjukkan
situasi hati negatif, meningkatkan pemikiran negatif, dan perilaku agresi.
Isyarat eksternal yang memiliki makna agresi akan mengaktivasi pemikiran agresi
dan jika perasaan negatif dihadirkan, maka akan mendorong meningkatnya perilaku
agresi.
3. Teori Belajar Sosial (Social
Learning Theory). Awal teori ini diaplikasikan untuk menggambarkan
alasan anak mengulang perilaku agresif yang mereka lihat. Anak cenderung meniru
perilaku agresif yang diteladani oleh model, terutama jika model berjenis
kelamin yang sama dengan anak, dan model memperoleh upah dari perilaku agresif
tersebut. Bandura mengatakan bahwa teori ini berfokus pada agresi sebagai
perilaku yang merupakan hasil dari menyakiti orang lain. Jika anak diberi upah,
maka perilaku agresi akan cenderung diulang, tetapi jika anak dihukum, maka
perilaku agresi akan berkurang. Meskipun kondisi emosi terkadang mendahului
agresi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kerugian, frustrasi atau marah
mendorong agresi hanya ketika pola perilaku agresi dipelajari dan diperkuat.
Pandangan ini berbeda dengan Locke. Menurut Locke, Teori Belajar Sosial
menekankan bahwa kondisi lingkungan dan sosial mengajarkan setiap individu
menjadi agresif. Mekanisme primer untuk mempelajari perilaku agresi adalah
penguatan dan hukuman secara langsung.
4. Teori Pemindahan Eksitasi (Excitation
Transfer Theory). Teori ini menyatakan bahwa seseorang akan bertindak
agresif ketika mereka terdorong secara psikologis, terutama ketika stimulus
agresi dihadirkan. Contoh: jika seseorang dihina setelah latihan, maka dorongan
psikologisnya menjadi “tidak terhubung atau misattributed” terhadap
pemberi cercaan dan orang itu akan merasa lebih kuat untuk marah dan bertindak
agresi. Menurut Zillman, Hoyt, dan Day, dorongan fisiologis dapat meningkatkan
pengalaman emosi. Jika seseorang marah atau frustrasi ketika mereka berada
dalam tahap dorongan fisiologis, maka mereka lebih cocok untuk memukul dengan
kuat dibandingkan jika mereka tidak berada dalam tahap dorongan. Bagaimanapun,
dorongan akan meningkatkan agresi apabila berhubungan dengan pengalaman marah.
Jika dorongan dihubungkan dengan sumber netral, maka agresi tidak akan terjadi.
5. Teori Neoasosianisme-kognitif
(Cognitive-Neoassciationism Theory). Teori ini
menyatakan bahwa pikiran, perasaan, dan kecenderungan perilaku disimpan
bersamaan dalam jaringan memori. Penelusuran pada stimulus agresi secara
otomatis dapat membawa pada pemikiran agresi dan perasaan marah yang dapat
meningkatkan respon agresif. Menurut Berkowitz, keadaan yang bertentangan akan
menghasilkan perasaan negatif (seperti: marah, bermusuhan, iritasi). Perasaan
ini akan menggerakkan pola kognisi atau memori yang berhubungan dengan
pengalaman agresi sebelumnya. Oleh karena itu, hasil dari seluruh aktivitas
otak tergantung pada suatu kondisi. Jika lingkungan mendukung tindakan agresi,
maka pikiran dan ingatan akan menghasilkan perilaku agresi. Sebaliknya, jika
lingkungan tidak mendukung tindakan agresi, maka jaringan pikiran akan didorong
tidak konsisten dengan agresi. Dalam hal ini, hasilnya dapat mengurangi
tindakan agresi.
6. Model Agresi Umum (General
Aggression Model). Model ini adalah salah satu teori agresi yang
menggabungkan setiap komponen dari teori-teori yang digambarkan sebelumnya.
Dalam model ini, stimulus agresi terdiri dua faktor, yakni: faktor pribadi
(seperti: sikap yang menyokong kekerasan) dan faktor situasi (seperti: kejadian
yang membuat frustrasi). Ketika dorongan, perasaan, dan pemikiran agresi
diperkuat, maka seseorang tiba-tiba akan menjadi cepat untuk berperilaku agresi
atau berpikir tentang potensi penyebab dari stimulus agresi. Jika seseorang
tidak berpikir mengenai penyebab stimulus agresi dan konsekuensi negatif dari
agresi, maka seseorang akan cenderung melakukan agresi dengan impulsif dan
lebih cepat. Sebaliknya, jika seseorang berpikir tentang penyebab dan
konsekuensi dari tindakannya, maka seseorang akan cenderung untuk tidak
melakukan agresi atau melakukan agresi (seperti: provokasi atau mempengaruhi
keyakinan orang lain). Huffman juga menyebutkan faktor yang dapat menjadi
penyebab agresi, yaitu:
1) Faktor Biologis, yang terdiri
dari:
a) Gen. Hasil penelitian menyatakan bahwa
beberapa individu secara genetik cenderung memiliki sikap bermusuhan,
temperamen yang lekas marah dan melakukan tindakan agresi. Agresi ini
berkembang dari interaksi kompleks biologi, pengalaman sosial dan setiap
perilaku individu.
b) Otak dan sistem saraf. Stimulasi elektrik atau
memotong bagian spesifik otak binatang secara langsung berpengaruh pada agresi.
Penelitian mengenai trauma otak dan gangguan organik juga diidentifikasikan
dengan sirkuit agresi dalam otak khususnya hipotalamus, amigdala dan bagian
lain dari otak.
c) Penggunaan obat-obatan dan gangguan mental
lainnya. Penggunaan obat-obatan (termasuk alkohol) adalah faktor utama agresi,
kekerasan terhadap anak, penyerangan terhadap pasangan, perampokan, pembunuhan,
penikaman, dan lain-lain.
d) Hormon dan neurotransmitter.
Beberapa penelitian meneliti bahwa hormon testosterone pada
laki-laki berhubungan dengan perilaku agresi. Bagaimanapun, hubungan antara
agresi manusia dan testosterone sangat kompleks. Testosterone kelihatannya
dapat meningkatkan agresi dan dominasi, tetapi dominasi itu sendiri dapat
meningkatkan testosterone. Perilaku kekerasan juga berhubungan
dengan rendahnya neurotransmitter serotonin dan GABA (Gamma-Aminobutyric
Acid).
2) Faktor Psikososial, yang terdiri
dari:
a) Stimulus negatif. Penelitian menunjukkan
bahwa stimulus negatif (seperti: bunyi, panas, bau busuk, macet, tuntutan
berlebihan di tempat kerja) dapat meningkatkan agresi,
b) Budaya dan belajar. Seseorang dibesarkan dalam
budaya model agresi dan akan mempelajari respon agresi,
c) Media dan video game. Media
dan video game yang bertemakan kekerasan dapat membuat anak
untuk melakukan imitasi dan anak akan menginternalisasi kekerasan yang dilihat
sebagai nilai bahwa kekerasan adalah perilaku yang dapat dilakukan.
Teori ini juga serupa dengan Model Agresi Pengaruh
Negatif (Negative Affect Model of Aggression) oleh Baron bahwa
stimulus negatif dalam lingkungan fisik dapat meningkatkan agresi tetapi hanya
sampai pada batas tertentu. Ketika cuaca semakin panas, maka seseorang akan
cenderung tidak dapat dikerahkan atau seseorang akan mencari tempat yang dingin
dan agresi akan mudah untuk muncul. Menurut Fisher, Bell, dan Baum, kerumunan
juga dapat menghasilkan tingkat tertinggi dari agresi baik pada manusia maupun
pada hewan.
No comments:
Post a Comment