Monday, 5 August 2013

Explanation about Aggression

AGGRESSION


Seberapa sering anda melihat seseorang melakukan tindak kekerasan kepada orang lain? Apakah yang anda lihat adalah bentuk pemukulan atau penganiayaan? Apakah tindak kekerasan tersebut terjadi di lingkungan anda? Ataukah di dalam keluarga anda sendiri?

Bicara soal kekerasan, pasti tidak akan terlepas dengan istilah "agresi". Suatu istilah ilmiah yang sering digunakan oleh para ilmuwan ketika hendak menggunakan kata "kekerasan" dalam suatu penelitian. Namun, tahukah anda tentang pengertian sesungguhnya dari agresi? Agresi adalah bentuk perilaku yang melibatkan pengiriman stimulus berbahaya (seperti: marah, menyerang, menghina, melukai, mencelakakan, mengintimidasi, melanggar hak orang lain, dan memaksa) kepada orang lain. 

Jika dilihat dari pengertian diatas, kita dapat mengetahui bahwa bentuk-bentuk agresi tidak hanya ditunjukkan dalam bentuk fisik [seperti: memukul, menendang, melempar, dll], tetapi bisa juga dalam bentuk:
  • Agresi instrumental: bentuk agresi yang mencoba memaksa / mempertahankan kekuatan, kekuasaan, dan status sosial orang lain.
  • Agresi emosional: bentuk agresi yang terjadi ketika ketidaknyamanan seseorang timbul dan mencoba untuk menyakiti orang lain.
  • Agresi verbal: menghina, mengejek, dan lain-lain.
  • Agresi langsung: setelah dipukul, langsung membalas dengan pukulan.
  • Agresi tidak langsung: menyebarkan cerita tidak menyenangkan tentang seseorang yang pernah menghancurkan reputasinya kepada orang lain.
  • Agresi yang secara sadar dikontrol. Agresor mengetahui tujuan yang ingin mereka capai dan mereka yakin bahwa mereka mempunyai kesempatan baik mereka untuk menyerang, sehingga serangan ditunjukkan dengan santai dan bebas.
  • Agresi yang impulsif / berulang-ulang. Agresor didorong untuk memukul target, tanpa mempertimbangkan pilihan tindakan yang lain, dan kemungkinan menyebabkan konsekuensi negatif, sehingga serangan dilakukan kurang sadar atau secara emosional. 
Menurut Berkowitz, tujuan agresi ada dua, yaitu:
  1. Tujuan agresi yang tidak melukai. Pada tujuan ini, agresor akan bertindak secara rasional, menggunakan suatu tujuan dalam pemikirannya, dan ada keinginan untuk mempengaruhi atau menekan kekuatan orang lain dengan beberapa cara, yaitu: (a) Pemaksaan [Agresor menyakiti korban dengan mempengaruhi perilaku korban, seperti: mencoba membuat korban berhenti melakukan sesuatu yang mengganggu agresor], (b) Kekuatan dan kekuasaan [Agresor dapat menyakiti korban dengan menunjukkan posisi dominan agresor ketika berhubungan dengan korban, membanding-bandingkan kekuatan antara agresor dengan korban, dan melakukan perebutan kekuasaan], (c) Manajemen kesan [Agresor melihat apa yang orang lain pikirkan tentang mereka dan agresor akan membuat identitas negatif dengan menunjukkan kekuatan, kompetensi, dan keberanian mereka].
  2. Berbagai macam tujuan. Perilaku agresi dapat didorong oleh berbagai motif, seperti: memperoleh keuntungan moneter atau persetujuan sosial, dll.

Cukup sering dalam pengalaman hidup kita, kita melihat tindak kekerasan / agresi dari orang dewasa bahkan dalam lingkungan terdekat kita, yakni: kehidupan keluarga seperti orangtua kepada anak-anak. Menurut catatan dari KomNas Perempuan pada tahun 2010 bahwa kekerasan terhadap anak telah mencapai 600 kasus dan tidak menutup kemungkinan pada tahun ini jumlah tersebut semakin bertambah. Menurut Social Services Alberta Family bahwa dampak aggresi yang dialami oleh anak, yaitu:
  • Indikator dari kekerasan fisik. Tanda fisik pada anak dapat meliputi: memar, bilur, bekas gigitan, luka bakar, luka lecet, terlepas sambungan pada bahu, paha atau bagian tubuh lain, luka pada kepala atau nyeri pada bagian yang menjadi sasaran tindakan kekerasan. Secara emosional, anak akan menjadi waspada dengan orang dewasa dalam hal kontak fisik, terlihat takut pada orang tua atau orang lain, takut ketika melihat wajah orang dewasa mencela, prihatin ketika orang lain menangis, bertindak dengan kebiasaan yang terlalu agresif atau menarik diri, memiliki keinginan yang berlebih-lebihan ketika meminta sesuatu, dan mendekati semua orang dewasa
  • Indikator dari kekerasan emosional. Penampilan anak mungkin tidak dapat mengindikasikan adanya kesulitan. Penampilan anak mungkin bersih, terawat dan terpelihara. Namun disisi lain, ekspresi wajah anak dan sikapnya dapat mengindikasikan ketakutan yang sangat mendalam pada orang lain, kesedihan, sulit membuat komitmen, kesulitan untuk mempercayai orang lain, dan depresi. Tanda yang dapat dilihat pada anak adalah menunjukkan sikap selalu mengalah atau tunduk, pasif atau malu-malu, memiliki hubungan yang kurang baik dengan teman sebaya atau menyendiri, takut memasuki komunitas atau hubungan baru, menunjukkan episode perilaku sangat agresif atau sangat pasif, menuntut, marah, takut gagal, khawatir, memiliki masalah dalam konsentrasi atau belajar, mudah menyerah, menjadi salah seorang yang sombong atau bersikap negatif, memiliki rasa bersalah yang besar, menyimpan dendam, merasa bingung akan identitasnya, serangan panik, keluhan tidur, gambaran diri yang rendah, pikiran untuk bunuh diri, dan kesulitan untuk mempercayai atau mencintai orang lain.
  • Indikator dari kekerasan seksual. Bukti fisik dari kekerasan seksual memang sangat jarang. Terkadang pada anak-anak yang muda, kekerasan bukanlah pada hubungan seksual, tetapi menyentuh yang mungkin tidak akan meninggalkan tanda fisik. Ketika bukti fisik hadir, hal itu mungkin terdiri dari: menangis, ternoda atau memiliki baju penuh darah, rasa sakit atau gatal pada daerah alat kelamin atau sulit untuk ke kamar mandi, memar, berdarah atau bengkak pada daerah alat kelamin atau dubur atau bau pada vagina. Anak yang mengalami kekerasan seksual biasanya akan menunjukkan ketidak-tertarikan pada hal-hal mengenai seksualitas, menggunakan bahasa dan membuat gambar yang secara seksual terlihat jelas, memiliki fantasi yang berlebihan, menunjukkan rasa takut terhadap hubungan yang dekat, menolak telanjang atau mengganti pembalut, melakukan masturbasi secara berlebihan, dan menunjukkan perilaku merayu. Pada aspek seksual, dampak yang diakibatkan oleh adanya tindakan kekerasan terhadap anak biasanya tidak muncul pada masa anak-anak, namun akan muncul ketika anak mulai beranjak dewasa. Aspek seksual ini berkaitan erat dengan aspek psikologis karena adanya trauma yang mendalam pada diri anak.
  • Indikator dari pengabaian. Anak yang mengalami pengabaian biasanya akan memiliki berat badan yang kurang dan memperoleh berat ketika diberi cukup nutrisi, menunjukkan kemajuan dari keterlambatan perkembangan mengikuti stimulasi yang tepat, menunjukkan tanda kehilangan, seperti: diare, muntah, anemia atau mengalami masalah pernapasan, secara konsisten menjadi kotor atau berpakaian tidak sesuai dengan cuaca, sering lapar, haus, lelah atau lesu, menuntut lebih kontak fisik dan atensi, serta tidak mendapat layanan medis.
Sekarang kita akan melihat bagaimana teori akan menjelaskan tentang agresi:
1. Teori Frustrasi-Agresi (Frustation-Aggression Theory). Teori Frustrasi-Agresi adalah salah satu dari teori-teori terawal mengenai agresi. Teori ini menyatakan bahwa frustrasi selalu menyebabkan agresi dan agresi selalu disebabkan oleh frustrasi. Peneliti telah mengklarifikasi bahwa teori ini terlalu terbatas, meskipun frustrasi merupakan penyebab utama agresi, tetapi tidak selalu menimbulkan agresi dan frustrasi bukanlah hal penting dalam mengungkap agresi.
2. Agresi berdasarkan emosi (Emotional Bases). Menurut Berkowitz, bahwa individu akan mengaktivasi pikiran agresi dan reaksi emosional yang mendorong ke arah perilaku agresi. Perilaku agresi ini memiliki komponen motorik (seperti: menjepit rahang, mengepal tangan dengan kuat, membentur, dan lain-lain), dorongan untuk menyakiti, melukai, dan menghancurkan. Ada dua tahap penting dalam teori ini, yaitu: 
1)  Tahap emosional yang mendasari agresi emosional adalah semua perasaan negatif (seperti: ketidaknyamanan yang dihasilkan oleh situasi panas, dingin, ribut, kepadatan, frustrasi, gangguan yang mendorong meningkatnya kekuatan perilaku agresi). 
2)  Tahap emosional yang terdiri dari: jaringan perasaan, ide, memori, dan reaksi gerakan ekspresif yang dihubungkan dengan orang lain, sehingga aktivasi satu bagian dari suatu jaringan akan mengaktivasi bagian yang lain. Ingatan yang tidak menyenangkan akan menunjukkan situasi hati negatif, meningkatkan pemikiran negatif, dan perilaku agresi. Isyarat eksternal yang memiliki makna agresi akan mengaktivasi pemikiran agresi dan jika perasaan negatif dihadirkan, maka akan mendorong meningkatnya perilaku agresi.
3.  Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory). Awal teori ini diaplikasikan untuk menggambarkan alasan anak mengulang perilaku agresif yang mereka lihat. Anak cenderung meniru perilaku agresif yang diteladani oleh model, terutama jika model berjenis kelamin yang sama dengan anak, dan model memperoleh upah dari perilaku agresif tersebut. Bandura mengatakan bahwa teori ini berfokus pada agresi sebagai perilaku yang merupakan hasil dari menyakiti orang lain. Jika anak diberi upah, maka perilaku agresi akan cenderung diulang, tetapi jika anak dihukum, maka perilaku agresi akan berkurang. Meskipun kondisi emosi terkadang mendahului agresi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kerugian, frustrasi atau marah mendorong agresi hanya ketika pola perilaku agresi dipelajari dan diperkuat. Pandangan ini berbeda dengan Locke. Menurut Locke, Teori Belajar Sosial menekankan bahwa kondisi lingkungan dan sosial mengajarkan setiap individu menjadi agresif. Mekanisme primer untuk mempelajari perilaku agresi adalah penguatan dan hukuman secara langsung.
4. Teori Pemindahan Eksitasi (Excitation Transfer Theory). Teori ini menyatakan bahwa seseorang akan bertindak agresif ketika mereka terdorong secara psikologis, terutama ketika stimulus agresi dihadirkan. Contoh: jika seseorang dihina setelah latihan, maka dorongan psikologisnya menjadi “tidak terhubung atau misattributed” terhadap pemberi cercaan dan orang itu akan merasa lebih kuat untuk marah dan bertindak agresi. Menurut Zillman, Hoyt, dan Day, dorongan fisiologis dapat meningkatkan pengalaman emosi. Jika seseorang marah atau frustrasi ketika mereka berada dalam tahap dorongan fisiologis, maka mereka lebih cocok untuk memukul dengan kuat dibandingkan jika mereka tidak berada dalam tahap dorongan. Bagaimanapun, dorongan akan meningkatkan agresi apabila berhubungan dengan pengalaman marah. Jika dorongan dihubungkan dengan sumber netral, maka agresi tidak akan terjadi.
5. Teori Neoasosianisme-kognitif (Cognitive-Neoassciationism Theory). Teori ini menyatakan bahwa pikiran, perasaan, dan kecenderungan perilaku disimpan bersamaan dalam jaringan memori. Penelusuran pada stimulus agresi secara otomatis dapat membawa pada pemikiran agresi dan perasaan marah yang dapat meningkatkan respon agresif. Menurut Berkowitz, keadaan yang bertentangan akan menghasilkan perasaan negatif (seperti: marah, bermusuhan, iritasi). Perasaan ini akan menggerakkan pola kognisi atau memori yang berhubungan dengan pengalaman agresi sebelumnya. Oleh karena itu, hasil dari seluruh aktivitas otak tergantung pada suatu kondisi. Jika lingkungan mendukung tindakan agresi, maka pikiran dan ingatan akan menghasilkan perilaku agresi. Sebaliknya, jika lingkungan tidak mendukung tindakan agresi, maka jaringan pikiran akan didorong tidak konsisten dengan agresi. Dalam hal ini, hasilnya dapat mengurangi tindakan agresi.
6.   Model Agresi Umum (General Aggression Model). Model ini adalah salah satu teori agresi yang menggabungkan setiap komponen dari teori-teori yang digambarkan sebelumnya. Dalam model ini, stimulus agresi terdiri dua faktor, yakni: faktor pribadi (seperti: sikap yang menyokong kekerasan) dan faktor situasi (seperti: kejadian yang membuat frustrasi). Ketika dorongan, perasaan, dan pemikiran agresi diperkuat, maka seseorang tiba-tiba akan menjadi cepat untuk berperilaku agresi atau berpikir tentang potensi penyebab dari stimulus agresi. Jika seseorang tidak berpikir mengenai penyebab stimulus agresi dan konsekuensi negatif dari agresi, maka seseorang akan cenderung melakukan agresi dengan impulsif dan lebih cepat. Sebaliknya, jika seseorang berpikir tentang penyebab dan konsekuensi dari tindakannya, maka seseorang akan cenderung untuk tidak melakukan agresi atau melakukan agresi (seperti: provokasi atau mempengaruhi keyakinan orang lain). Huffman juga menyebutkan faktor yang dapat menjadi penyebab agresi, yaitu: 
1)  Faktor Biologis, yang terdiri dari: 
a)  Gen. Hasil penelitian menyatakan bahwa beberapa individu secara genetik cenderung memiliki sikap bermusuhan, temperamen yang lekas marah dan melakukan tindakan agresi. Agresi ini berkembang dari interaksi kompleks biologi, pengalaman sosial dan setiap perilaku individu. 
b) Otak dan sistem saraf. Stimulasi elektrik atau memotong bagian spesifik otak binatang secara langsung berpengaruh pada agresi. Penelitian mengenai trauma otak dan gangguan organik juga diidentifikasikan dengan sirkuit agresi dalam otak khususnya hipotalamus, amigdala dan bagian lain dari otak. 
c) Penggunaan obat-obatan dan gangguan mental lainnya. Penggunaan obat-obatan (termasuk alkohol) adalah faktor utama agresi, kekerasan terhadap anak, penyerangan terhadap pasangan, perampokan, pembunuhan, penikaman, dan lain-lain. 
d) Hormon dan neurotransmitter. Beberapa penelitian meneliti bahwa hormon testosterone pada laki-laki berhubungan dengan perilaku agresi. Bagaimanapun, hubungan antara agresi manusia dan testosterone sangat kompleks. Testosterone kelihatannya dapat meningkatkan agresi dan dominasi, tetapi dominasi itu sendiri dapat meningkatkan testosterone. Perilaku kekerasan juga berhubungan dengan rendahnya neurotransmitter serotonin dan GABA (Gamma-Aminobutyric Acid). 
2)  Faktor Psikososial, yang terdiri dari: 
a)  Stimulus negatif. Penelitian menunjukkan bahwa stimulus negatif (seperti: bunyi, panas, bau busuk, macet, tuntutan berlebihan di tempat kerja) dapat meningkatkan agresi, 
b) Budaya dan belajar. Seseorang dibesarkan dalam budaya model agresi dan akan mempelajari respon agresi, 
c) Media dan video game. Media dan video game yang bertemakan kekerasan dapat membuat anak untuk melakukan imitasi dan anak akan menginternalisasi kekerasan yang dilihat sebagai nilai bahwa kekerasan adalah perilaku yang dapat dilakukan. 
Teori ini juga serupa dengan Model Agresi Pengaruh Negatif (Negative Affect Model of Aggression) oleh Baron bahwa stimulus negatif dalam lingkungan fisik dapat meningkatkan agresi tetapi hanya sampai pada batas tertentu. Ketika cuaca semakin panas, maka seseorang akan cenderung tidak dapat dikerahkan atau seseorang akan mencari tempat yang dingin dan agresi akan mudah untuk muncul. Menurut Fisher, Bell, dan Baum, kerumunan juga dapat menghasilkan tingkat tertinggi dari agresi baik pada manusia maupun pada hewan.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa agresi disebabkan oleh ketidak-nyaman secara psikologis yang merupakan dampak dari peningkatan secara mandiri / bersamaan antara dorongan, pikiran agresi, dan reaksi emosional yang negatif sebagai penyebab dari timbulnya stimulus agresi. Oleh karena itu, STOP KEKERASAN!!! Ingatlah, bahwa kekerasan  tidak akan menimbulkan dampak positif melainkan dampak negatif pada anak dan ketahuilah bahwa siklus kekerasan ini tidak akan pernah terputus jika anda tidak menghentikannya mulai dari sekarang. 

No comments:

Post a Comment